Mengenal Nama Allah Al-Kabiir
Allah memiliki nama-nama yang paling bagus, yang masing-masing mencerminkan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Di antara nama Allah yang agung dan penuh makna adalah “Al-Kabiir”, yang biasa diartikan “Yang Maha Besar”. Nama ini menunjukkan kebesaran Allah yang meliputi segala hal, baik dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya.
Melalui artikel ini, kita akan bersama-sama menggali dalil-dalil yang menunjukkan nama Allah Al-Kabiir, memahami kandungan maknanya, serta mengetahui konsekuensinya bagi kehidupan seorang hamba. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua, untuk bisa mengagungkan-Nya dengan benar. Aamiin.
Dalil nama Allah “Al-Kabiir”
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan diri-Nya dengan nama “Al-Kabiir” dalam enam tempat di dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah:
Firman-Nya dalam surah Ar-Ra’du ayat 9,
عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ
“Dia-lah yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang tampak, Maha Besar dan Maha Tinggi.”
Firman-Nya dalam surah Al-Hajj ayat 62,
وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [1]
Kandungan makna nama Allah “Al-Kabiir”
Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Kabiir” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.
Makna Bahasa dari “Al-Kabiir”
“Al-Kabiir” merupakan bentuk sifat musyabbahah dari kata kerja ( كَبِر يكْبَر مَكبِرا وكِبَرا ) yang berarti “besar” atau “agung”, lawan dari kecil. [2]
Az-Zajjaji rahimahullah (w. 337 H) mengatakan,
الكبير: العظيم الجليل،
يقال: «فلان كبير بني فلان»: أي رئيسهم وعظيمهم
ومنه قوله عز وجل: {انا أطعنا سادتنا وكبراءنا} أي عظماءنا ورؤوساءنا
“Al-Kabiir: yang agung dan mulia.
Dikatakan, ‘Si Fulan adalah kabiir dari Bani Fulan,’ yaitu pemimpin dan orang terhormat mereka.
Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), ‘Sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan pembesar kami.’ (QS. Al-Ahzab: 67), yaitu orang-orang yang besar dan para pemimpin kami.” [3]
Ibn Faris rahimahullah (w. 395 H) mengatakan,
(كبر) الْكَافُ وَالْبَاءُ وَالرَّاءُ أَصْلٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى خِلَافِ الصِّغَرِ
“(Huruf kaaf, baa, dan raa) adalah akar kata yang menunjukkan makna lawan dari kecil.” [4]
Makna “Al-Kabiir” dalam konteks Allah
Makna Al-Kabiir sebagai salah satu nama dari nama-nama Allah adalah Yang Maha Besar, yang segala sesuatu lebih kecil dari-Nya, dan tidak ada yang lebih besar (agung) dari-Nya; Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya.
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan terkait firman Allah,
{وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ}. يعنى بقولِه: {الْعَلِيُّ} أنَّه ذو العلوِّ على كلِّ شيءٍ، هو فوقَ كلِّ شيءٍ، وكلُّ شيءٍ دونَه، {الْكَبِيرُ}. يعنى: العظيمُ، الذى كلُّ شيءٍ دونَه، ولا شيء أعظمُ منه.
“’Dan sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Maksud dari ‘al-‘Aliyy’ adalah bahwa Dia memiliki ketinggian di atas segala sesuatu, Dia lebih tinggi dari segala sesuatu, dan segala sesuatu berada di bawah-Nya. Sedangkan ‘al-Kabiir’ berarti Yang Maha Besar, yang segala sesuatu lebih kecil dari-Nya, dan tidak ada yang lebih agung dari-Nya.” [5]
Di tempat yang lain, beliau mengatakan,
العليُّ ذو العُلوِّ على كلِّ شيءٍ، وكلُّ ما دونَه فله مُتذلِلٌ منقادٌ، الكبيرُ الذي كلُّ شيءٍ دونَه فله مُتَصَاغِرُ.
“Al-‘Aliyy, yang berarti Dia memiliki kedudukan yang lebih tinggi di atas segala sesuatu, dan segala sesuatu yang di bawah-Nya tunduk dan patuh. Al-Kabiir menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada di bawah-Nya tampak kecil dan hina.” [6]
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan,
{الْكَبِيرُ} الْعَظِيمُ الَّذِي كَلُّ شَيْءٍ دُونَهُ.
“Al-Kabiir adalah yang Maha Agung, yang segala sesuatu lebih rendah dari-Nya.” [7]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
{ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ} أَيِ: الْعَلِيُّ: الَّذِي لَا أَعْلَى مِنْهُ، الْكَبِيرُ: الَّذِي هُوَ أَكْبَرُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، فكل شيء خاضع حقير بالنسبة إليه.
“’Itulah karena Allah adalah yang Maha Benar dan apa yang mereka sembah selain-Nya adalah batil, dan Allah adalah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Yaitu, “al-‘Aliyy”, yang tidak ada yang lebih tinggi dari-Nya; dan “al-Kabiir”, yang lebih besar dari segala sesuatu, sehingga segala sesuatu tampak kecil di hadapan-Nya.” [8]
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy rahimahullah mengatakan,
فإنه {عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ} في ذاته وأسمائه وصفاته {الْمُتَعَالِ} على جميع خلقه بذاته وقدرته وقهره
“Karena Dia adalah ‘Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang tampak, Maha Besar,’ dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya, dan ‘yang Maha Tinggi’ atas segala ciptaan-Nya dengan Diri-Nya, kekuasaan-Nya, dan penguasaan-Nya.” [9]
Di tempat yang lain, beliau mengatakan, “’Dan sesungguhnya Allah adalah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.’ Al-’Aliy, yang Maha Tinggi dalam Diri-Nya, yang lebih tinggi dari seluruh ciptaan-Nya, dalam kedudukan-Nya yang sempurna, dalam kekuasaan-Nya yang meliputi segalanya. Al-Kabiir, yang Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Di antara kebesaran dan kemuliaan-Nya, bahwa pada hari kiamat, bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya, dan langit-langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Dan di antara keagungan-Nya adalah, bahwasanya kursi-Nya mencakup langit dan bumi.” [10]
Konsekuensi dari nama Allah “Al-Kabiir” bagi hamba
Penetapan nama “Al-Kabiir” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekunsi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:
Beriman bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatu
Hamba harus beriman bahwa Allah lebih besar dari segala sesuatu, karena Dia adalah yang Maha Besar dalam Diri-Nya, nama-nama-Nya, dan sifat-sifat-Nya.
Memutus harapan untuk mengetahui bagaimana Diri-Nya atau sifat-Nya
Ada hal yang perlu diperhatikan dan tidak boleh diabaikan, yaitu bahwa ketika seorang muslim meyakini dan beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih besar dari segala sesuatu, dan bahwa segala sesuatu, betapapun besarnya, menjadi kecil di hadapan kebesaran dan kemuliaan Allah, maka ia akan mengetahui dengan yakin bahwa kebesaran, kemuliaan, keagungan, dan keindahan Allah, serta seluruh sifat dan nama-Nya adalah sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akal atau dibayangkan oleh pikiran, atau dipahami oleh pandangan dan pemikiran manusia. Allah lebih besar dan lebih agung dari itu. Allah Ta’ala berfirman,
وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذُ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكَ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَيْرَهُ تَكْبِيرًا
“Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak mengambil anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya, dan tidak ada wali bagi-Nya dari kehinaan.’ Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.” (QS. Al-Isra: 111) [11]
Tawadhu’ dan menjauhi kesombongan
Kesombongan hanya layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena sifat kebesaran dan ketinggian adalah milik-Nya, sementara hamba seharusnya memiliki sifat kerendahan hati, ketundukan, dan keikhlasan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam orang-orang yang sombong dengan azab yang sangat pedih pada hari kiamat. Allah berfirman,
أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْمُتَكَبِّرِينَ
“Bukankah di neraka Jahannam ada tempat untuk orang-orang yang sombong?” (QS. Az-Zumar: 60)
Memperbanyak takbir
Di antara konsekuensi dari penetapan nama Al-Kabiir, bahwasanya seorang hamba hendaknya memperbanyak takbir (ucapan: الله أكبر), terutama pada waktu-waktu tertentu, seperti saat melakukan takbir dalam salat, dzikir setelah salat, ketika melewati tempat yang tinggi, dan yang semisalnya. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
وفي قوله «الله أكبر» إثبات عظمته
“Dalam ucapan takbir terkandung penetapan sifat kebesaran bagi Allah Ta’ala.” [12]
Mengarahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah
Orang yang mengetahui makna nama Allah ini akan merendahkan diri di hadapan-Nya, merasa hina di hadapan-Nya, dan mengarahkan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya, meyakini bahwa hanya Dia yang berhak untuk disembah. Orang tersebut juga akan tahu bahwa setiap penyembah selain Allah, mereka tidak menghargai kebesaran Yang Maha Besar. Allah berfirman,
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتُ بِيَمِينِهِ، سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit dilipat dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka syirikkan.” (QS. Az-Zumar: 67)
Barangsiapa yang menjadikan sekutu bagi Allah, berarti mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang seharusnya, dan tidak memuliakan-Nya sebagaimana mestinya. Maha Suci Allah yang wajah-wajah makhluk tunduk di hadapan-Nya, suara-suara merendah kepada-Nya, dan hati mereka gentar karena takut kepada-Nya. [13]
***
Rumdin PPIA Sragen, 10 Ramadhan 1446
Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab
Artikel Muslim.or.id
Referensi Utama:
Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439.
Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.
An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.
Catatan kaki:
[1] An-Nahju Al-Asma, hal. 107.
[2] Al-Bayān, hal. 339; Maqayis Al-Lughah, hal. 570; Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 155
[3] Isytiqāq Asmā’illāh, hal. 155.
[4] Maqayis Al-Lughah, hal. 570. Lihat juga Al-Mishbah Al-Munir, hal. 553; dan An-Nahjul Asmaa, hal. 107.
[5] Tafsir Ath-Thabari, 16: 622.
[6] ibid, 18: 577.
[7] Tafsir al-Baghawi, 5: 397.
[8] Tafsir Ibn Katsir, 6: 350.
[9] Taysir al-Karim al-Rahman, hal. 414.
[10] Taysir al-Karim al-Rahman, hal. 544. Lihat juga Fiqhul Asmaa, hal. 177.
[11] Fiqhul Asmaa, hal. 177. Lihat juga An-Nahjul Asmaa, hal. 108
[12] Majmu’ Fatawa, 10: 253; dinukil dari Fiqhul Asmaa, hal. 177.
[13] Disarikan dari Fiqhul Asmaa, hal. 178.
Artikel asli: https://muslim.or.id/104325-mengenal-nama-allah-al-kabiir.html